Dan yang membuat miris mereka dengan bangga memamerkan binatang yang dilindungi hasil buruannya itu di media sosial,
Penulis: Eli Kamilah
Editor:
![[WEBTORIAL] WCS: Miris, Mereka Bangga Pamer Foto Hasil Buruan Satwa Dilindungi](/_next/image?url=https%3A%2F%2Fcms.kbr.id%2Fmedia%3Ffilename%3D%2Farchive%2F2014%2F04%2F04%2FBadakB.jpg&w=3840&q=75)
Belakangan muncul komunitas-komunitas berburu. Sayangnya binatang yang diburu adalah adalah binatang yang dilindungi. ”Dan yang membuat miris mereka dengan bangga memamerkan binatang hasil buruannya itu di media sosial,” jelas Irma Hermawati dari Wildlife Conservation Society (WCS). Selain komunitas berburu juga muncul komunitas pehobi binatang peliharaan. Setali tiga uang, binatang yang mereka pelihara adalah binatang yang dilindungi. ”Elang, misalnya, seluruh elang itu dilindungi, tapi mereka bangga ketika berfoto dengan elang peliharaannya yang bertengger di pundak atau di tangan,” keluh Irma.
Irma Hermawati mengatakan menilai kebanyakan orang paham akan status satwa liar yang di lindungi. Ini terbukti pemilik dari satwa liar yang langka kebanyakan berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan tinggi. Fenomena lainnya kata Irma, banyak komunitas yang berkepentingan bisnis menggunakan warga adat di satu daerah untuk berburu. Ini karena di sejumlah kelompok ada memang masih ada perburuan. Tetapi kata Irma, perburuan di masyarakat adat berbeda. ”Kami melihat perburuan oleh masyarakat lokal, masih memegang kearifan. Mereka punya syarat hewan apa yang boleh diburu, kapan berburu, dan disesuaikan dengan kebutuhan desa mereka. Namun, sekarang yang kami lihat banyak orang-orang yang memilki kepentingan pribadi mereka menunggangi masyarakat lokal untuk kepentingan dia,”tegasnya.
“Modus semakin canggih dan beragam. Pelaku semakin masif mempromosikan satwa langka. Kita tidak bisa membebankan semua pada Kemenhut, tetapi harus sinergi dengan kementerian lain dan organisasi masyarakat,”kata Irma. Modus beragam yang dimaksud Irma, salah satunya penyelendupan lewat angkutan bus, atau laut dengan mengemas satwa liar dengan kardus-kardus buah. Bahkan olahan hasil satwa liar seperti kulit seringkali dikemas lebih rapi.
Direktur Pengamanan dan Perlindungan Hutan, Kementerian Kehutanan Sony Partono perburuan yang semakin merajalela lantaran besarnya permintaan hewan liar dari luar negeri. Kebanyakan konsumen asing menilai beberapa jenis hewan liar sangat berkhasiat untuk kesehatan, mulai dari kulit hingga tulang hewan. ”Selain permintaan luar negeri. Masyarakat kita juga tidak jera. Proses hukum sampai putusan persidangan belum membuat efek jera. Putusannya hanya tiga bulan penjara, empat bulan, denda 500 ribu, gimana mereka mau jera. Memang di UU hanya lima tahun. Tetapi ya paling ngga di atas dua tahun,”kata Sony
Sony mengaku kecewa dengan beragam proses hukum yang hanya berujung pada sanksi ringan. Itu sebab, kata dia, Kementeriannya sering mengajukan banding. Namun, proses putusan dan banding yang sering diajukan pihaknya seringkali berujung vonis yang tidak setimpal. Sony berharap penegakan hukum dilakukan lebih tegas, dengan denda dan kurungan yang maksimal.
Menurut Sony yang yang bisa dilakukan Kemenhut saat ini, adalah berkerjasama dengan pihak maskapai penerbangan, untuk memantau proses penjualan hewan satwa ke luar negeri.
”Ada semacam petanya, peta kerawanan, baik daerah asal maupun penerima. Kita sudah ada jalur-jalurnya. Jadi kalau dari Papua bisa ke Surabaya dari sanakan bisa ke luar negeri, kedud dari Jakarta dan ketiga dari Medan,”kata Sony
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kemenhut, Novianto Bambang Wawandono mengaku upaya pemerintah sebenarnya sudah maksimal. Namun, penegakan hukum di Indonesia masih lambat. Penegakan hukum pelaku penyelundupan satwa liar harusnya lebih cepat diputuskan. “Proses yustisi diserangkan kepada pengadilan, tugas di Kemenhut adalah melakukan imbauan untuk menjerat pelaku dengan vonis seberat-beratnya untuk efek jera, ini kan sejalan juga dengan MUI. Inilah spirit bagi kami, betapa banyak perhatian pemerintah kepada satwa liar.
Gerakan ayo selamatkan satwa liar sesungguhnya sudah mulai didengungkan sejak 1990-an. Sayangnya gerakan tersebut kurang nyata di masyarakat. Itu sebab beberapa waktu lalu kita masih mendengar daging orang utan disantap di Kalimantan. Sebagian ada yang benar-benar belum tahu, ada yang sudah tahu tapi tidak peduli, atau bahkan justru menjadikannya lahan bisnis. Padahal Indonesia menjadi habitat penting untuk satwa endemik, dengan jumlah hampir 260 jenis mamalia, 380 lebih jenis burung dan 170 lebih jenis ampibi.
Editor: Arin Swandari
Perbincangan ini merupakan hasil kerjasama KBR68H dengan WCS